CHÀNDOGYA UPANIÛAD
Upaniûad ini berhubungan dengan Sàmaweda, dan memiliki delapan bagian. Lima bagian pertama terdiri dari bermacam-macam upàsana atau bentuk pendekatan yang ideal dan tiga bagian terakhir menjelaskan cara pencapaian pengetahuan yang sebenarnya. Pemurnian kecerdasan merupakan kebutuhan awal yang utama dalam upàsana.
Konsentrasi pikiran yang memusat merupakan hal yang utama bagi
pengetahuan tentang Brahman. Hal ini dapat dicapai dengan karma dan upàsana
sehingga Brahmajñàna diperoleh. Itulah sebabnya mengapa dalam sastra-sastra,
karma merupakan uraian pertama, lalu Upaniûad dan akhirnya jñànam.
Pada
bab pertama dari Chàndogya, upàsana yang membentuk bagian dari Sàma Weda,
diperinci. Pada bab kedua, keseluruhan ritual Sàma Weda, diuraikan. Pada bab
ketiga, diberikan uraian tentang upàsana Sùrya yang dikenal sebagai madhuwidyà,
Gàyatrì Upàsana, dan sandilya widyà. Pada bab keempat, diajarkan tentang
Samwarga Widyà, dan 16 tahapan Brahmawidyà. Pada bab kelima, dijelaskan tentang
Widyà, pràóa, pañcàgni, dan waiúwanara.
Uddàlaka
mengajar putranya, Swetaketu, bahwa pengetahuan apabila diketahui, segala hal
lainnya dapat diketahui. Pengetahuan tentang tanah liat dan emas, akan
memberikan pengetahuan tentang segala macam gelang, kalung, dan sebagainya.
Tanah liat dan emas adalah kebenaran; sedang perubahan dan modifikasinya
bersifat sementara yang hanya berhubungan dengan masalah nama dan rùpa.
Demikian pula alam dunia ini, seperti periuk dan gelang, yang hanya merupakan
akibat dari “sat”, yang artinya “keberadaan” dan berlaku umum pada semua objek.
Periuk “ada”, gelang juga “ada”, tetapi “keberadaan” menjadi berwujud, melalui
persekutuannya dengan periuk dan belanga gelang dan kalung. “Keberadaan”
kemungkinan tak tampak bagi kecerdasan kasar, karena ia memerlukan kehalusan
untuk mewujudkannya. Warna mawar yang diwujudkan pada bunga mawar “ada”,
walaupun bunganya tidak ada.
Demikian
juga, “keberadaan” yang merupakan ciri universal dari semua objek, yang tetap
berlaku walaupun tidak hadirnya objek-objek tersebut. Sebelumnya penciptaan,
yang ada hanya “keberadaan” ini, tak ada kekosongan. Ketika “ada” dipantulkan
pada màyà, atau kegiatan awal, yang terjadi pada Ìúwara, yang mengambil bagian
pada kegiatan tersebut untuk mewujudkan sebagai alam semesta dengan tiga unsur
dari api, tanah dan angin. Semua ciptaan ini tiada lain merupakan pertukaran
dari ketiganya ini.
Keturunan
Uddàlaka sangat berpengaruh dalam mempelajari Weda sehingga terkenal sebagai
keluarga mulia berkelahiran tinggi. Tetapi Swetaketu putranya, menyia-nyiakan
waktunya yang berharga setelah upanayana dalam kemalasan, tanpa
mempergunakannya untuk mempelajari Weda. Ini menyebabkan kekhawatiran Uddàlaka,
karena mereka yang melalaikan belajar Weda, dan dilahirkan sebagai seorang
Bràhmaóa, tidak layak menyandang gelar tersebut. Ia hanya boleh disebut sebagai
Bràhmaóabandhu, yaitu seseorang yang memiliki keluarga Bràhmaóa. Selanjutnya,
Uddàlaka menemuinya untuk menyuruh dan memaksanya pergi kepada seorang guru. Di
sana, dengan latihan kecerdasannya yang tinggi, ia menguasai pelajaran keempat
Weda beserta artinya, sebelum ia menginjak usia 24 tahun Ia kembali, dengan bangga dan sombong, membusung dengan
angkuh menyatakan bahwa tak seorang pun yang sebanding dengannya dalam
kesarjanaan dan kebajikan.
Pada
suatu hari, untuk memenggal kesombongannya, Uddàlaka menanyainya,: “Kamu telah
menjadi sombong dan menyatakan tak ada yang menyamainya dalam pelajaran dan
kebajikan. Baiklah, apakah kamu mendapatkan dari gurumu, pesan-pesan yang
memperlihatkan “Yang Mutlak”, yaitu pelajaran yang hanya dapat diberikan dengan
pelaksanaan sastra; pesan-pesan (amanat) yang apabila dibayangkan membuatmu
membayangkan semua hal yang terbayangkan ? Apakah kamu belajar hal itu ? Amanat
tersebut seharusnya telah memperlihatkanmu àtma, yang merupakan kepuasan dari
segala pelajaran kesarjanaan.”
Àtma
merupakan dasar dari pribadi-pribadi seperti Swetaketu. Kesadaran murni
tampaknya menjadi terbatas kedalam berbagai macam pribadi. Dalam keadaan tidur
lelap, kejamakan lenyap dan setiap pribadi tergelincir kembali ke dalam
“keberadaan” ini. Lalu, semua kejamakan aktivitas dan pengalaman, seperti, “Aku
adalah raòga,” “Aku adalah Gaòga”, “Aku
adalah ayah”, “Aku adalah anak”, dan sebagainya terhancurkan. Kemanisan dan
keharuman dari banyak bunga, disaat semua kejamakan pribadi termusnahkan. Nama
Gaòga, Kåûóa, Indus, dan lain-lain semuanya lenyap apabila mereka masuk lautan,
dan selanjutnya mereka disebut “lautan” atau samudra.
Sang
jìwi yang abadi dan kekal, lahir berkali-kali, sebagai kefanaan sementara dan
ia melanjutkan untuk menimbun kegiatan atau karma, didorong oleh bisikan hati
dan kegiatan warisan masa lalu yang menghasilkan akibat-akibat yang harus dipikul
dan dideritanya. Badanlah yang merosot dan mati, bukan sang jìwi atau roh
pribadi. Biji-biji (benih) pohon banyan akan berkecambah, sekalipun ia
dinjak-injak. Garam yang tercampur dalam air dapat dikenali dengan
mencicipinya, walaupun ia tak diambil begitu saja dari dalam air.
Sang
jìwi, yang dibingungkan oleh ajñàna, tak mampu mengenali realitasnya; namun
pembedaan akan memperlihatkan kebenaran. Seorang jutawan diculik dan ditinggal
sendirian dalam sebuah hutan, tetapi ia menemukan jalan keluar dan kembali ke
rumah. Demikian pula dengan sang jìwi diperbaiki kembali populasinya. Sekali
sang jìwi meraih kedudukan yang sebenarnya, ia bebas dari segala macam
perubahan dan peluang yang dilibatkannya dalam saýsàra, atau aliran dari waktu
dan ruang, nama dan rùpa. Bila ia tidak mencapai kedudukan demikian itu, maka
seperti seseorang yang keenakan tidur, kelabakan bangun pada siang hari, sang
jìwi akan lahir ke dunia fana ini.
Brahman
dilukiskan sebagai ekam ewa adwitìyam; dan seluruh alam yang dapat dilihat ini dinyatakan
sebagai Tat swarùpa atau wujud dari Brahman; yang dapat diwujudkan dengan
Saguóopàsana, pemujaan bentuk pribadi Tuhan yang terbatas, seperti yang
dilakukan Satyakàma dan yang lain-lainnya. Jalan Brahmopàsanà disebut juga
Suûumóa màrga. Brahman yang ada di mana-mana dapat dikurung dan ditemukan dalam
cakrawala hati yang merupakan pura dari sang Raja. Karena Dia berkedudukan di
sana, hati juga disebut sebagai Brahmawesma, atau rumah Brahman. Sudah barang
tentu cakrawala tersebut tak dapat dibatasi atau dipagari terhadap Brahman yang
tak terbatas tersebut.
Para
Yogi yang memalingkan dirinya dari dunia objektif dapat mencapai Parabrahman,
dengan pengetahuan realisasinya yang semarak, di dalam langit bersih yang murni
dari hati nuraninya. Alam semesta di pusatkannya sebagai ruji-ruji roda pada
sumbu Brahman. Kemerosotan, kehancuran dan kematian tidak mempengaruhinya
karena kesatuan yang tertinggi dapat dicapai, dengan keputusan apa pun, maka ia
disebut Satyakàma dan Satyasaòkalpa. Lalu, sekarang apa sebenarnya
Parabrahman itu ? Kita dapat
mengetahuinya dengan percobaan tunggal, dimana yang tetap tinggal setelah
segala sesuatunya disangkal sebagai “bukan ini”, “bukan itu”, itulah Brahman.
Itulah
kebenaran yang dicari oleh para calon spiritual. Mencapainya, mereka memperoleh
kedudukan kaisar dan dapat bepergian kemana pun mereka suka. Seorang jñànì yang
sudah mapan dalam realitas murni melihat segala keinginan yang timbul dalam
hatinya sebagai pencerminan dari kebenaran itu saja.
Àtman
melampaui segala alam dunia ini dan tak tercemar. Ia yang sadar akan keberadaan
àtma, akan selalu dalam kebahagiaan. Tahapan Brahmacàrya merupakan langkah yang
sangat penting guna pencapaian kebijaksanaan àtman. Yajña, puasa dan
nazar-nazar lainnya juga merupakan bantuan yang sebanding. Energi matahari
bergetar melalui syaraf-syaraf badan yang tak terhitung jumlahnya;
indriya-indriya bergabung dalam pikiran pada saat ajal tiba dan jìwi yang telah
mewujudkan bahwa itu adalah kesemuanya ini, sementara dibatasi dalam pikiran,
kemudian terlepas kedalam Hådayàkàúa melalui syaraf-syaraf. Akhirnya, pada
titik kematian, jìwi bergerak keluar dari Suûumóa menuju sinar matahari dan
dari sana ke Sùryaloka itu sendiri. Namun perjalanan tidak terhenti di sini
saja, tetapi ia juga sampai di Brahmaloka.
Tetapi,
sang jìwi yang terperangkap dalam lumpur Ajñàna, yang mempersamakannya dengan
pikiran dan ulah pikiran, terlepas melalui telinga atau mata ataupun indriya
lainnya dan jatuh ke dalam loka-loka disitu karma menentukan. Perasaan puas dan
bahagia yang diperoleh dalam tidur lelap, merupakan hasil dari ajñàna yang
menetap dalam pribadi.
Citta
merupakan sumber dan penopang dari resolusi. Semua resolusi, kepastian dan
rencana merupakan produk citta tersebut ; yang terbentuk dan timbul di sana,
tetapi mengapa ia sampai tercatat di sana. Ketika kematian menimpa seorang
sarjana semua sastra Weda, ia menjadi sebanding dengan orang biasa dan nasibnya
sama dengan seorang ajñàni. Citta seharusnya dijenuhi dengan usaha Brahmik
sehingga ia dapat menjadi suatu peralatan pembebasan, bebas dari belenggu
Saòkalpa. Pikiran dan sebagainya tak dapat bebas dengan sendirinya, seperti
yang dapat dilakukan oleh citta. Citta membedakan antara resolusi-resolusi,
mencobanya sebagai kewajiban dan bukan kewajiban, dan membenarkan dengan alasan
yang layak penggolongan yang telah dibuatnya. Sekali pemisahan ini dilakukan,
kata-kata mengucapkannya, dan nama menandainya. Bentuk suara khusus atau mantra
menyatukan diri dengan resolusi-resolusi, menerimanya sebagai kewajiban, dengan
citta yang dimurnikan upacara-upacara menjadi satu dengan mantra. Di sana dapat
terjadi karma yang tidak layak tanpa adanya citta.
Selanjutnya
tentang dhyàna, yang lebih unggul dari pada citta. Dhyàna merupakan pemusatan
dari buddhi pada Tuhan, apabila ia mengatasi alat bantu yang sifatnya lebih
rendah, seperti patung, gambaran atau sàligràma. Dalam dhyàna, semua hasutan
lenyap dan segala perubahan tak diketahui. Disebabkan pengaruh tamoguóa, atau
bahkan ràjoguóa, semua benda ciptaan seperti air, pegunungan dan bukit-bukit,
bintang dan planet-planet, manusia dengan percikan Tuhan di dalamnya, semuanya
terbelenggu hasutan dan perubahan.
Wijñàna
lebih baik daripada dhyàna. Jñàna yang didasarkan pada langkah-langkah
kesarjanaan dalam sastra-sastra dinyatakan sebagai Wijñàna, yang dicapai
melalui dhyàna, sehingga lebih bernilai dari pada dhyàna.
Yang
mengungguli Wijñàna adalah balam, yaitu kekuatan, keteguhan hati, yang
mencerahi dunia objektif, mempertajam pratibha atau Intuisi. Pratibha merupakan
kekuatan, yang memungkinkanmu untuk merasakan Kesadaran pada semua objek
pengetahuan. Sekarang ada satu hal yang mengungguli pratibha, yaitu annam atau
makanan, yang menghidupi. Ia menunjang kehidupan dan terhindar dari makanan
selama sepuluh hari, manusia menjadi lemah untuk menggapai sesuatu.
Kehidupanlah yang memungkinkan untuk belajar, melayani guru, mendengarkan
ajarannya, merenungkan apa yang telah diajarkannya, dan pengharapan akan teja,
yaitu pencerahan yang lebih tinggi dari intuisi, pratibha atau makanan. Teja
adalah api, panasnya dan sinarnya. Teja menciptakan air, dan air menghasilkan
makanan. Teja dapat membuat angin menjadi lebih ringan. Ia bersinar laksana
kilat dan bergemuruh laksana guntur.
Àkàúa
lebih unggul dari pada teja. Melalui àkàúa-lah suara dipindahkan dan didengar.
Cinta kasih dan permainan merupakan hasil dari àkàúa. Benih berkecambah
disebabkan oleh àkàúa.
Sekarang,
perhatikan hal ini. Smaraóa, atau ingatan lebih unggul dari pada àkàúa, karena
tanpa ingatan, segala pengalaman tak ada artinya, segala pengetahuan menjadi
sia-sia, dan segala usaha tak ada gunanya. Tak satupun yang dapat dialami tanpa
bantuan dari ingatan. Objek-objek seperti àkàúa tak akan dapat dikenali lagi
pada ketidak hadirannya. Dapat dikatakan bahwa ingatanlah yang menciptakan
àkàúa dan objek-objek lainnya.
Jadi
dengan menganalisa nilai dan keperluan relatif dari objek dan kekuatan, manusia
harus melepaskan penyamaan dirinya dengan badan fisik dan mengenali Realitasnya
yang sebenarnya. Manusia semacam itu untuk naik ke taraf uttamapuruûa, yaitu
manusia utama, mentertawakan, memainkan dan bergerak tanpa memandang keperluan
atau kenyamanan badan. Manusia yang terbelenggu badan, terperangkap dalam
saýsàra; dan bagi mereka yang bebas dari belenggu tersebut, medan kegiatannya
adalah Swarùpa. Angin, kilat dan guntur tidak memiliki keberadaan yang
permanen. Bila musim hujan tiba, mereka tampak di langit dan bergabung
dengannya. Demikian pula sang jìwi yang terpisah, tampak sebagai terpisah
beberapa waktu terhadap latar belakang Brahman dan pada akhirnya nanti akan
bergabung dengan-Nya.
Aûþàdhyàyi
Upaniûad ini mengajarkan serangkaian objek yang lambat laun berkembang dari
Hiraóyagarbha, Kaúyapa prajàpati, Manu, dan Manuûya; di situ silsilah dan
pelajaran untuk mengangkat derajatnya, sangat perlu bagi umat manusia, dan
harus dipelajari oleh anak-anak dan para murid dari ayah dan para guru.
Chàndogya
Upaniûad berasal dari Sàma Veda. Chandoga adalah
penyanyi wirama Sàman. Upaniûad
ini adalah milik dari pengikut Sàma Veda. Berikut ini adalah bagian
dari Chàndogya Bràhmaóa yang berisi sepuluh bab. Dua bab pertama
dari Bràhmaóa berkaitan dengan yàjna dan bentuk kurban
lainnya. Delapan bab berikutnya berisikan Chàndogya Upaniûad.
Bab
pertama dan kedua membahas masalah-masalah liturgi dan ajaran-ajaran
seperti kelahiran dan pentingnya aum serta nama-nama dan makna dari Sàman.
BAB I
Bagian 1
AKÛARA AUM SEBAGAI UDGITHA
AO' - —Tyetd=rmuÔ¢qmupas¢t - AOimit òÔayit tSyopVya:yanm( --1--
I.1.1. aum. ity etad akûaram udgìtham upàsìta, aum iti håd gàyati
tasyopavyàkhyànam.
1. Aum. Seseorang semestinya samàdhi atas aksara ini, yaitu udgìtha,
sebab seseorang menyanyikan wirama yang dimulai dengan aum. Berikut adalah
penjelasan mengenai hal ini.
- Aksara aum, yang selalu di ucapkan pada saat memulai mantra Veda, di sini dianggap sebagai lambang dari Yang Maha Tinggi dan karena itu menjadi jalan samàdhi kepada Yang Maha Tinggi: arcàdivat para-syàtmanaá pratìkaý sampadyate; evaý nàmatvena pratìkatvena ca paramàtmopàsana-sàdhanaý úreûþham iti sarva vedànteûv agagatam. Ú.
- Sebelum kita memperoleh visi yang Maha Tinggi dari Tuhan, yaitu realisasi dari renungan, kita harus melakukan pemujaan dan samàdhi. Kita mungkin mengucap dan bernyanyi dengan pikiran penuh bhakti, dengan semangat tinggi dengan kerinduan insani atas benda-benda yang di atas, dengan pikiran yang murni. Kita berusaha menjaga agar jiwa tidak terganggu dan beristirahat dari semua pikiran. Kita secara terus menerus memusatkan perhatian kita yang penuh cinta kepada Tuhan.
- Pada samàdhi, jiwa dilengkapi dengan lambang, kepada apa kita memusatkan pandangan kita, pada apa kita memusatkan semua bayangan kita dan juga akal kita. Ketika samàdhi mencapai akhirnya, ketika tiada lagi perhatian kepada hal lain dan gangguan, ketika terjadi ketenangan menyeluruh dan manis, akan datanglah visi itu. Nama apa saja bisa menaikkan kita kepada samàdhi yang sempurna. Kita mulai dengan pemujaan dan meneruskannya dengan samàdhi. Ketika perbuatan yang bersifat menyimpang berhenti, maka mulailah pikiran pada aksara aum, untuk mengalihkan pikiran kita dari semua subyek yang lain untuk membina ekàgratà atau pemusatan kesatu titik. Lambang tidak bisa dianggap sebagai akhir. Dia mempunyai berbagai segi. Jika dia ditukar dengan kata-kata dari bahasa sehari-hari, dia akan menjadi tidak jelas dan kaku. Kita nantinya akan membatasi artinya dalam satu rangka dasar yang sempit dan dogmatis. Walaupun aksara aum seperti semua lambang menutupi yang nyata bagai tabir, bagi mereka yang mengerti bagaimana harus melihatnya, dia akan menjadi jelas.
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar