Minggu, 13 Mei 2012

Candogya Upanisad

CHÀNDOGYA UPANIÛAD

Upaniûad ini berhubungan dengan Sàmaweda, dan memiliki delapan bagian. Lima bagian pertama terdiri dari bermacam-macam upàsana atau bentuk pendekatan yang ideal dan tiga bagian terakhir menjelaskan cara pencapaian pengetahuan yang sebenarnya. Pemurnian kecerdasan merupakan kebutuhan awal yang utama dalam upàsana. 
Konsentrasi pikiran yang memusat merupakan hal yang utama bagi pengetahuan tentang Brahman. Hal ini dapat dicapai dengan karma dan upàsana sehingga Brahmajñàna diperoleh. Itulah sebabnya mengapa dalam sastra-sastra, karma merupakan uraian pertama, lalu Upaniûad dan akhirnya jñànam.

Pada bab pertama dari Chàndogya, upàsana yang membentuk bagian dari Sàma Weda, diperinci. Pada bab kedua, keseluruhan ritual Sàma Weda, diuraikan. Pada bab ketiga, diberikan uraian tentang upàsana Sùrya yang dikenal sebagai madhuwidyà, Gàyatrì Upàsana, dan sandilya widyà. Pada bab keempat, diajarkan tentang Samwarga Widyà, dan 16 tahapan Brahmawidyà. Pada bab kelima, dijelaskan tentang Widyà, pràóa, pañcàgni, dan waiúwanara.

Uddàlaka mengajar putranya, Swetaketu, bahwa pengetahuan apabila diketahui, segala hal lainnya dapat diketahui. Pengetahuan tentang tanah liat dan emas, akan memberikan pengetahuan tentang segala macam gelang, kalung, dan sebagainya. Tanah liat dan emas adalah kebenaran; sedang perubahan dan modifikasinya bersifat sementara yang hanya berhubungan dengan masalah nama dan rùpa. Demikian pula alam dunia ini, seperti periuk dan gelang, yang hanya merupakan akibat dari “sat”, yang artinya “keberadaan” dan berlaku umum pada semua objek. Periuk “ada”, gelang juga “ada”, tetapi “keberadaan” menjadi berwujud, melalui persekutuannya dengan periuk dan belanga gelang dan kalung. “Keberadaan” kemungkinan tak tampak bagi kecerdasan kasar, karena ia memerlukan kehalusan untuk mewujudkannya. Warna mawar yang diwujudkan pada bunga mawar “ada”, walaupun bunganya tidak ada.

Demikian juga, “keberadaan” yang merupakan ciri universal dari semua objek, yang tetap berlaku walaupun tidak hadirnya objek-objek tersebut. Sebelumnya penciptaan, yang ada hanya “keberadaan” ini, tak ada kekosongan. Ketika “ada” dipantulkan pada màyà, atau kegiatan awal, yang terjadi pada Ìúwara, yang mengambil bagian pada kegiatan tersebut untuk mewujudkan sebagai alam semesta dengan tiga unsur dari api, tanah dan angin. Semua ciptaan ini tiada lain merupakan pertukaran dari ketiganya ini.

Keturunan Uddàlaka sangat berpengaruh dalam mempelajari Weda sehingga terkenal sebagai keluarga mulia berkelahiran tinggi. Tetapi Swetaketu putranya, menyia-nyiakan waktunya yang berharga setelah upanayana dalam kemalasan, tanpa mempergunakannya untuk mempelajari Weda. Ini menyebabkan kekhawatiran Uddàlaka, karena mereka yang melalaikan belajar Weda, dan dilahirkan sebagai seorang Bràhmaóa, tidak layak menyandang gelar tersebut. Ia hanya boleh disebut sebagai Bràhmaóabandhu, yaitu seseorang yang memiliki keluarga Bràhmaóa. Selanjutnya, Uddàlaka menemuinya untuk menyuruh dan memaksanya pergi kepada seorang guru. Di sana, dengan latihan kecerdasannya yang tinggi, ia menguasai pelajaran keempat Weda beserta artinya, sebelum ia menginjak usia 24 tahun Ia kembali,  dengan bangga dan sombong, membusung dengan angkuh menyatakan bahwa tak seorang pun yang sebanding dengannya dalam kesarjanaan dan kebajikan.

Pada suatu hari, untuk memenggal kesombongannya, Uddàlaka menanyainya,: “Kamu telah menjadi sombong dan menyatakan tak ada yang menyamainya dalam pelajaran dan kebajikan. Baiklah, apakah kamu mendapatkan dari gurumu, pesan-pesan yang memperlihatkan “Yang Mutlak”, yaitu pelajaran yang hanya dapat diberikan dengan pelaksanaan sastra; pesan-pesan (amanat) yang apabila dibayangkan membuatmu membayangkan semua hal yang terbayangkan ? Apakah kamu belajar hal itu ? Amanat tersebut seharusnya telah memperlihatkanmu àtma, yang merupakan kepuasan dari segala pelajaran kesarjanaan.”

Àtma merupakan dasar dari pribadi-pribadi seperti Swetaketu. Kesadaran murni tampaknya menjadi terbatas kedalam berbagai macam pribadi. Dalam keadaan tidur lelap, kejamakan lenyap dan setiap pribadi tergelincir kembali ke dalam “keberadaan” ini. Lalu, semua kejamakan aktivitas dan pengalaman, seperti, “Aku adalah raòga,”  “Aku adalah Gaòga”, “Aku adalah ayah”, “Aku adalah anak”, dan sebagainya terhancurkan. Kemanisan dan keharuman dari banyak bunga, disaat semua kejamakan pribadi termusnahkan. Nama Gaòga, Kåûóa, Indus, dan lain-lain semuanya lenyap apabila mereka masuk lautan, dan selanjutnya mereka disebut “lautan” atau samudra.

Sang jìwi yang abadi dan kekal, lahir berkali-kali, sebagai kefanaan sementara dan ia melanjutkan untuk menimbun kegiatan atau karma, didorong oleh bisikan hati dan kegiatan warisan masa lalu yang menghasilkan akibat-akibat yang harus dipikul dan dideritanya. Badanlah yang merosot dan mati, bukan sang jìwi atau roh pribadi. Biji-biji (benih) pohon banyan akan berkecambah, sekalipun ia dinjak-injak. Garam yang tercampur dalam air dapat dikenali dengan mencicipinya, walaupun ia tak diambil begitu saja dari dalam air.

Sang jìwi, yang dibingungkan oleh ajñàna, tak mampu mengenali realitasnya; namun pembedaan akan memperlihatkan kebenaran. Seorang jutawan diculik dan ditinggal sendirian dalam sebuah hutan, tetapi ia menemukan jalan keluar dan kembali ke rumah. Demikian pula dengan sang jìwi diperbaiki kembali populasinya. Sekali sang jìwi meraih kedudukan yang sebenarnya, ia bebas dari segala macam perubahan dan peluang yang dilibatkannya dalam saýsàra, atau aliran dari waktu dan ruang, nama dan rùpa. Bila ia tidak mencapai kedudukan demikian itu, maka seperti seseorang yang keenakan tidur, kelabakan bangun pada siang hari, sang jìwi akan lahir ke dunia fana ini.

Brahman dilukiskan sebagai ekam ewa adwitìyam; dan seluruh alam yang dapat dilihat ini dinyatakan sebagai Tat swarùpa atau wujud dari Brahman; yang dapat diwujudkan dengan Saguóopàsana, pemujaan bentuk pribadi Tuhan yang terbatas, seperti yang dilakukan Satyakàma dan yang lain-lainnya. Jalan Brahmopàsanà disebut juga Suûumóa màrga. Brahman yang ada di mana-mana dapat dikurung dan ditemukan dalam cakrawala hati yang merupakan pura dari sang Raja. Karena Dia berkedudukan di sana, hati juga disebut sebagai Brahmawesma, atau rumah Brahman. Sudah barang tentu cakrawala tersebut tak dapat dibatasi atau dipagari terhadap Brahman yang tak terbatas tersebut.

Para Yogi yang memalingkan dirinya dari dunia objektif dapat mencapai Parabrahman, dengan pengetahuan realisasinya yang semarak, di dalam langit bersih yang murni dari hati nuraninya. Alam semesta di pusatkannya sebagai ruji-ruji roda pada sumbu Brahman. Kemerosotan, kehancuran dan kematian tidak mempengaruhinya karena kesatuan yang tertinggi dapat dicapai, dengan keputusan apa pun, maka ia disebut Satyakàma dan Satyasaòkalpa. Lalu, sekarang apa sebenarnya Parabrahman  itu ? Kita dapat mengetahuinya dengan percobaan tunggal, dimana yang tetap tinggal setelah segala sesuatunya disangkal sebagai “bukan ini”, “bukan itu”, itulah Brahman.

Itulah kebenaran yang dicari oleh para calon spiritual. Mencapainya, mereka memperoleh kedudukan kaisar dan dapat bepergian kemana pun mereka suka. Seorang jñànì yang sudah mapan dalam realitas murni melihat segala keinginan yang timbul dalam hatinya sebagai pencerminan dari kebenaran itu saja.

Àtman melampaui segala alam dunia ini dan tak tercemar. Ia yang sadar akan keberadaan àtma, akan selalu dalam kebahagiaan. Tahapan Brahmacàrya merupakan langkah yang sangat penting guna pencapaian kebijaksanaan àtman. Yajña, puasa dan nazar-nazar lainnya juga merupakan bantuan yang sebanding. Energi matahari bergetar melalui syaraf-syaraf badan yang tak terhitung jumlahnya; indriya-indriya bergabung dalam pikiran pada saat ajal tiba dan jìwi yang telah mewujudkan bahwa itu adalah kesemuanya ini, sementara dibatasi dalam pikiran, kemudian terlepas kedalam Hådayàkàúa melalui syaraf-syaraf. Akhirnya, pada titik kematian, jìwi bergerak keluar dari Suûumóa menuju sinar matahari dan dari sana ke Sùryaloka itu sendiri. Namun perjalanan tidak terhenti di sini saja, tetapi ia juga sampai di Brahmaloka.

Tetapi, sang jìwi yang terperangkap dalam lumpur Ajñàna, yang mempersamakannya dengan pikiran dan ulah pikiran, terlepas melalui telinga atau mata ataupun indriya lainnya dan jatuh ke dalam loka-loka disitu karma menentukan. Perasaan puas dan bahagia yang diperoleh dalam tidur lelap, merupakan hasil dari ajñàna yang menetap dalam pribadi.

Citta merupakan sumber dan penopang dari resolusi. Semua resolusi, kepastian dan rencana merupakan produk citta tersebut ; yang terbentuk dan timbul di sana, tetapi mengapa ia sampai tercatat di sana. Ketika kematian menimpa seorang sarjana semua sastra Weda, ia menjadi sebanding dengan orang biasa dan nasibnya sama dengan seorang ajñàni. Citta seharusnya dijenuhi dengan usaha Brahmik sehingga ia dapat menjadi suatu peralatan pembebasan, bebas dari belenggu Saòkalpa. Pikiran dan sebagainya tak dapat bebas dengan sendirinya, seperti yang dapat dilakukan oleh citta. Citta membedakan antara resolusi-resolusi, mencobanya sebagai kewajiban dan bukan kewajiban, dan membenarkan dengan alasan yang layak penggolongan yang telah dibuatnya. Sekali pemisahan ini dilakukan, kata-kata mengucapkannya, dan nama menandainya. Bentuk suara khusus atau mantra menyatukan diri dengan resolusi-resolusi, menerimanya sebagai kewajiban, dengan citta yang dimurnikan upacara-upacara menjadi satu dengan mantra. Di sana dapat terjadi karma yang tidak layak tanpa adanya citta.

Selanjutnya tentang dhyàna, yang lebih unggul dari pada citta. Dhyàna merupakan pemusatan dari buddhi pada Tuhan, apabila ia mengatasi alat bantu yang sifatnya lebih rendah, seperti patung, gambaran atau sàligràma. Dalam dhyàna, semua hasutan lenyap dan segala perubahan tak diketahui. Disebabkan pengaruh tamoguóa, atau bahkan ràjoguóa, semua benda ciptaan seperti air, pegunungan dan bukit-bukit, bintang dan planet-planet, manusia dengan percikan Tuhan di dalamnya, semuanya terbelenggu hasutan dan perubahan.

Wijñàna lebih baik daripada dhyàna. Jñàna yang didasarkan pada langkah-langkah kesarjanaan dalam sastra-sastra dinyatakan sebagai Wijñàna, yang dicapai melalui dhyàna, sehingga lebih bernilai dari pada dhyàna.

Yang mengungguli Wijñàna adalah balam, yaitu kekuatan, keteguhan hati, yang mencerahi dunia objektif, mempertajam pratibha atau Intuisi. Pratibha merupakan kekuatan, yang memungkinkanmu untuk merasakan Kesadaran pada semua objek pengetahuan. Sekarang ada satu hal yang mengungguli pratibha, yaitu annam atau makanan, yang menghidupi. Ia menunjang kehidupan dan terhindar dari makanan selama sepuluh hari, manusia menjadi lemah untuk menggapai sesuatu. Kehidupanlah yang memungkinkan untuk belajar, melayani guru, mendengarkan ajarannya, merenungkan apa yang telah diajarkannya, dan pengharapan akan teja, yaitu pencerahan yang lebih tinggi dari intuisi, pratibha atau makanan. Teja adalah api, panasnya dan sinarnya. Teja menciptakan air, dan air menghasilkan makanan. Teja dapat membuat angin menjadi lebih ringan. Ia bersinar laksana kilat dan bergemuruh laksana guntur.

Àkàúa lebih unggul dari pada teja. Melalui àkàúa-lah suara dipindahkan dan didengar. Cinta kasih dan permainan merupakan hasil dari àkàúa. Benih berkecambah disebabkan oleh àkàúa.

Sekarang, perhatikan hal ini. Smaraóa, atau ingatan lebih unggul dari pada àkàúa, karena tanpa ingatan, segala pengalaman tak ada artinya, segala pengetahuan menjadi sia-sia, dan segala usaha tak ada gunanya. Tak satupun yang dapat dialami tanpa bantuan dari ingatan. Objek-objek seperti àkàúa tak akan dapat dikenali lagi pada ketidak hadirannya. Dapat dikatakan bahwa ingatanlah yang menciptakan àkàúa dan objek-objek lainnya.

Jadi dengan menganalisa nilai dan keperluan relatif dari objek dan kekuatan, manusia harus melepaskan penyamaan dirinya dengan badan fisik dan mengenali Realitasnya yang sebenarnya. Manusia semacam itu untuk naik ke taraf uttamapuruûa, yaitu manusia utama, mentertawakan, memainkan dan bergerak tanpa memandang keperluan atau kenyamanan badan. Manusia yang terbelenggu badan, terperangkap dalam saýsàra; dan bagi mereka yang bebas dari belenggu tersebut, medan kegiatannya adalah Swarùpa. Angin, kilat dan guntur tidak memiliki keberadaan yang permanen. Bila musim hujan tiba, mereka tampak di langit dan bergabung dengannya. Demikian pula sang jìwi yang terpisah, tampak sebagai terpisah beberapa waktu terhadap latar belakang Brahman dan pada akhirnya nanti akan bergabung dengan-Nya.

Aûþàdhyàyi Upaniûad ini mengajarkan serangkaian objek yang lambat laun berkembang dari Hiraóyagarbha, Kaúyapa prajàpati, Manu, dan Manuûya; di situ silsilah dan pelajaran untuk mengangkat derajatnya, sangat perlu bagi umat manusia, dan harus dipelajari oleh anak-anak dan para murid dari ayah dan para guru.

Chàndogya Upaniûad berasal dari Sàma Veda. Chandoga adalah penyanyi wirama Sàman. Upaniûad ini adalah milik dari pengikut Sàma Veda. Berikut ini adalah bagian dari Chàndogya Bràhmaóa yang berisi sepuluh bab. Dua bab pertama dari Bràhmaóa berkaitan dengan yàjna dan bentuk kurban lainnya. Delapan bab berikutnya berisikan Chàndogya Upaniûad.

Bab pertama dan kedua membahas masalah-masalah liturgi dan ajaran-ajaran seperti kelahiran dan pentingnya aum serta nama-nama dan makna dari Sàman.

BAB I

Bagian 1

AKÛARA AUM SEBAGAI UDGITHA

 AO' - —Tyetd=rmuÔ¢qmupas¢t - AOimit òÔayit tSyopVya:yanm( --1--
I.1.1. aum. ity etad akûaram udgìtham upàsìta, aum iti håd gàyati tasyopavyàkhyànam.
1. Aum. Seseorang semestinya samàdhi atas aksara ini, yaitu udgìtha, sebab seseorang menyanyikan wirama yang dimulai dengan aum. Berikut adalah penjelasan mengenai hal ini.
  • Aksara aum, yang selalu di ucapkan pada saat memulai mantra Veda, di sini dianggap sebagai lambang dari Yang Maha Tinggi dan karena itu menjadi jalan samàdhi kepada Yang Maha Tinggi: arcàdivat para-syàtmanaá pratìkaý sampadyate; evaý nàmatvena pratìkatvena ca paramàtmopàsana-sàdhanaý úreûþham iti sarva vedànteûv agagatam. Ú.
  • Sebelum kita memperoleh visi yang Maha Tinggi dari Tuhan, yaitu realisasi dari renungan, kita harus melakukan pemujaan dan samàdhi. Kita mungkin mengucap dan bernyanyi dengan pikiran penuh bhakti, dengan semangat tinggi dengan kerinduan insani atas benda-benda yang di atas, dengan pikiran yang murni. Kita berusaha menjaga agar jiwa tidak terganggu dan beristirahat dari semua pikiran. Kita secara terus menerus memusatkan perhatian kita yang penuh cinta kepada Tuhan.
  • Pada samàdhi, jiwa dilengkapi dengan lambang, kepada apa kita memusatkan pandangan kita, pada apa kita memusatkan semua bayangan kita dan juga akal kita. Ketika samàdhi mencapai akhirnya, ketika tiada lagi perhatian kepada hal lain dan gangguan, ketika terjadi ketenangan menyeluruh dan manis, akan datanglah visi itu. Nama apa saja bisa menaikkan kita kepada samàdhi yang sempurna. Kita mulai dengan pemujaan dan meneruskannya dengan samàdhi. Ketika perbuatan yang bersifat menyimpang berhenti, maka mulailah pikiran pada aksara aum, untuk mengalihkan pikiran kita dari semua subyek yang lain untuk membina ekàgratà atau pemusatan kesatu titik. Lambang tidak bisa dianggap sebagai akhir. Dia mempunyai berbagai segi. Jika dia ditukar dengan kata-kata dari bahasa sehari-hari, dia akan menjadi tidak jelas dan kaku. Kita nantinya akan membatasi artinya dalam satu rangka dasar yang sempit dan dogmatis. Walaupun aksara aum seperti semua lambang menutupi yang nyata bagai tabir, bagi mereka yang mengerti bagaimana harus melihatnya, dia akan menjadi jelas.
Bersambung : Candogya Upanisad 2
Baca juga:


                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar