Jumat, 18 Mei 2012

Katha Upanisad (5)

Lanjutan Katha Upaniûad (4)

BAB I

Bagian 3

DUA ÀTMAN

¨t' ipbNtO su²tSy lokw guha' p[ivìO prme pra/e -
^ayatpO b[õivdo vdiNt - pÆag{yo ye c i]naickwta" --1--


1. åtam pibantau sukåtasya loke guhàm praviûþau parame paràrdhe, chàyà-tapau brahma-vido vadanti, pañcàgnayo ye ca tri-óàci-ketàá. 
1. Ada dua àtman yang meminum sari buah karma dari dunia perbuatan yang baik. Keduanya bersemayam pada tempat rahasia (di jantung), tempat utama dari Yang Maha Tinggi. Yang mengerti brahman mengatakan tentang kedua hal ini sebagai bayangan dan cahaya, dan juga (mereka yang menjalankan gryahasta) yang memelihara kelima api yajña dan mereka juga yang menjalankan upacara tiga api Naciketa.
  • Sudah dikatakan bahwa Kenyataan Yang Kekal, yang lebih besar dari jagat ini bisa dicapai melalui samàdhi pada diri sendiri dan bukan melalui pengetahuan empiris. Bagian ini terus membicarakan bagaimana Yang Maha Tinggi bisa dimengerti. Mantra ini menjelaskan bahwa samàdhi ke dalam diri membawa kita kepada pengetahuan tentang Yang Maha Tinggi sebab yang terakhir ini bersemayam dalam hubungan yang dekat sekali dengan àtman individu pada gua dari buddhi manusia. R “Ada dua minuman” dan lain-lain, yang memperlihatkan bahwa, “sebagai tujuan dari bhakti samàdhi dan yang ber-bhakti berdiam berdua, maka samàdhi dengan mudah bisa dilakukan”. R.B.I.4.6.
  • rtam: karma, åta menjelaskan tentang aturan dan harmoni yang mengatur dunia, baik alamiah maupun moril. Di sini dimaksudkan sebagai hukum  Tuhan yang menghubungkan perbuatan dengan hasilnya. Ú. mengartikan hal ini sebagai “kebenaran, sebab ini adalah buah perbuatan yang tidak bisa dihindari”. åtam satyam avaúyam bhàvitvàt karma phalam. Ú.
    sukåtasya, dari perbuatan-perbuatan baik: dari perbuatan-perbuatan mereka. Sva-kåtasya.
  • Àtman Yang Maha Tinggi: Bd. M.U.III.10., Ú.U. IV.6. dan 7, yang kembali kepada R.V. I. 164.20 Sayana mengomentari sloka ini dengan mengartikannya kepada dua bentuk àtman, àtman individu (jìvàtman) dan semesta (paramàtman). Tetapi bagaimana jiwa yang dianggap sebagai saksi tanpa ikut makan bisa diangap mengalami buah dari pada perbuatan-perbuatannya? S.R. dan Srìnivàsa dalam komentarnya mengenai Nimbàrka mengatakan bahwa ini adalah penggunaan yang bebas dari chattri-nyàya. Bila dua orang berjalan di bawah satu payung kita mengatakannya pembawa-pembawa payung sedang berjalan. Madhva lebih tegas ketika mengutip Båhat Saýhità dan berkata, “Bhatara Hari bersemayam dalam jantungnya mahluk-mahluk dan menikmati kesucian yang murni yang datang dari perbuatan-perbuatan baik mereka”. Yang Maha Tinggi dalam segi kosmisnya adalah merupakan subyek dari perubahan-perubahan waktu. Iúvara yang terpisah dari brahman ikut mengambil bagian dalam proses di jagat ini.
  • Madhva menyetujui mantra ini sebab di dalamnya dia melihat dibenarkannya ajarannya mengenai terpisahnya jiwa-jiwa individu dan semesta.
  • parame paràrdhe: tempat utama dari Yang Maha Tinggi. Kerajaan Tuhan ada pada diri kita. Adalah pada tempat yang paling dalam dari jiwa bahwasanya jiwa manusia bersatu dengan Tuhan.
    chàyà tapau: bayangan dan cahaya.
    pañcàgnayaá: dia yang memelihara kelima api yajña.
  • Semua ini menunjukkan bahwa apabila samàdhi membawa kita kepada pengetahuan, pelaksanaan yajña sesuai dengan yang digariskan memberikan kepada kita pengertian rohani. 
 

ySsetur¢jananam=r' b[õ yTprm( -
A.y' ititsta' par' nickwt' xkwmih --2--

2. yas setur ìjànànàm akûaram brahma yat param, abhayam titìrûatàm pàram nàciketaý úakemahi. 
2. Jembatan itu, bagi mereka yang melakukan yajña dan yang merupakan brahman Yang Maha Tinggi bagi mereka yang ingin menyeberang ke arah pantai sebelah sana yang tanpa ketakutan, semoga kita memahami api Naciketa.
  • setu: jembatan. Bd. C.U. VIII.4.4. B.U.IV.22. aja àtmà. eûa setuá. M.U.II.2.5. Ini diartikan cara kita melewati waktu menuju kekekalan. Pada permulaannya dikatakan bahwa langit dan bumi adalah satu. Mereka menjadi terpisah karena sungai waktu dan angkasa, saýsàra sàgara. Setiap orang dari kita di bumi ini ingin mencapai yang lebih jauh dengan tangga atau jembatan. Bila kita memakai tangga, maka jalannya (panthà) adalah ke atas (ùrdhvam); bila kita berpikir tentang jembatan jalannya adalah menyeberang. Dia yang membawa kita menyeberang ke pantai sebelah sana adalah diri rohani yang immanent yang sekaligus adalah jalan dan juga tujuannya. Jembatan memisahkan kedua dunia ini dan juga mempersatukannya. Lihat B.U.IV.4.22, VIII.4.1.
  • Dalam naskah agama Buddha, jalan dari dasar keberadaan, saýsàra sampai kepada sinarnya api hidup, nirvàóa adalah delapan tapak. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup,” (perkataan Yesus), Yohannes XIV. 6. Dia yang menganggap dirinya sebagai jalan, menurut St. Catherine dari Siena, “muncul dalam bentuk jembatan dari svarga ke bumi di atas mana semua manusia harus lewat”, Lihat Dona Luisa Coomaraswamy: The Periolous Bridge. Harvard Journal of Asiatic Studies, August 1944. 
  • Dua jalan menyeberangi sungai saýsàra ditunjukkan, yaitu menjalankan yajña-yajña Veda, yang membawa kepada svarga-nya dewata dan pengetahuan brahman. Yang pertama mempersiapkan jalan untuk yang kedua, melalui jalan pembebasan yang bertahap dari krama-mukti. B.U. IV.4.22.



PERUMPAMAAN TENTANG KERETA


AaTman' riqn' ivi× - xr¢r' rqmev tu - 
bui×' tu sari/' iv× - mn" p[g[hmev c --3--

3. àtmànaý rathinaý viddhi, úarìraý ratham eva tu: buddhiý tu sàradhiý viddhi, manaá pragraham eva ca. 
3. Ketahuilah àtman sebagai penguasa dari kereta dan raga sesungguhnya adalah kereta dan ketahuilah buddhi sebagai kusir kereta dan pikiran sesungguhnya adalah kendalinya.
  • Bd. tentang àtman yang mengendarai kereta yang merupakan kendaraan psikofisik sudah kita ketahui. Lihat juga Jataka VI.242. Kereta dengan kudanya yang perasa mewakili kendaraan psikofisik yang dikendarai àtman. Pada Maitrì IV. àtman yang memperoleh raga disebut sebagai rathita atau “diangkut” dan karena ini menjadi subyek dari kematian. Pikiran memegang kendali. Dia mungkin mengendalikan atau mungkin pula diseret oleh kumpulan indriya. Rûmì dalam Mathnawi berkata: “Hati telah menarik kendali dari lima indriya” (I. 3275). Pengertian yoga datang dari akar kata yuj, untuk mengendalikan, dengan mengikutinya berarti dihubungkan dengan lambang kereta dan kumpulannya. Yoga adalah pengendalian total dari unsur-unsur berbeda dari sifat kita baik fisik maupun psikis dan mengendalikan mereka untuk tujuan tertinggi. Lihat Plato: Phaedo 24-28, Phaedrus 246f. Meskipun terdapat perbedaan dalam rincinya Kaþha Upaniûad dan Plato sama-sama setuju yang menganggap buddhi sebagai kekuatan yang memerintah dari jiwa (buddhi atau vijñàna dalam Upaniûad dan nous dari Plato) dan bertujuan untuk menyatukan unsur-unsur yang berbeda dan sifat-sifat manusia. Bd. Republic (IV. 433): “Orang yang benar mengatur kehidupan dirinya yang di dalam, menjadi penguasa dirinya dan damai dengan dirinya”: dan ketika dia telah mengikat bersama kedga azas dalam dirinya (yaitu pikiran, perasaan dan nafsu-nafsu seksual), tidak lagi bertabiat ganda melainkan bertabiat utuh dan sempuma, kemudian barulah dia berbuat, kalau dia harus berbuat, baik dalam masalah-masalah negara maupun dalam masalah-masalah pribadinya”. 



—iNd–yai, hynahuivRsya'Stesu gocran( -
AaTmeiNd–ymnoyuµ' .oµwTyahumRn¢isn" --4--

4. indriyàói hayàn àhur viûayàýs teûu gocaràn, àtmendriya-mano-yuktam bhoktety àhur manìûióaá. 
4.  Indria-indria kata mereka adalah kudanya; obyek-obyek indria adalah jalannya (yang akan mereka lalui); (atman) yang berhubungan dengan raga, indria-indria dan pikiran, adalah penikmat, kata orang yang bijak.
  • Àtman dibandingkan dengan pemilik dari kereta (rathin), raga adalah keretanya (ratha), buddhi kusirnya (sàrathi), kuda-kuda sebagai indria-indria (indriyàói), pikiran adalah kendali (pragraha) dengan apa buddhi mengendalikan indria. 


ySTvivDanvaN.vTyyuµwn mnsa sda -
tSyeiNd–ya<yvXyain duìaëa —v sarqe" --5--

5. yas tv avijñànavàn bhavaty ayuktena manasà sadà, tasyendriyàóy avaúyàni duûþàúvà iva sàratheá. 
5. Dia yang mengerti, yang pikirannya selalu dibatasi, indrianya tidak diken-dalikan adalah sama dengan kuda jahat terhadap kusirnya.


yStu ivDanyaN.vit - yuµwn mnsa sda -
tSyeiNd–yai, vXyain sdëa —v sarqe" --6--

6. yas tu vijñànavàn bhavati, yuktena manasà sadà, tasyendriyàói vaúyàni sadaúvà iva sàratheá. 
6.  Dia yang mengerti, indria-indrianya terkendali, adalah sama dengan kuda-kuda yang baik untuk kusirnya.
  • sad: baik, terlatih baik.


ySTvivDanvaN.avTymnSkSsda_xuic" -
n s tTpdmap{oit s'sar' cai/gC^it --7--

7. yas tv avijñànavàn bhavaty amanaskas sadà’úuciá, na sa tat padam àpnoti saýsàraý càdhigacchati. 
7.  Karena itu dia yang tidak punya pengertian, yang tidak punya kendali atas pikirannya, (dan yang selalu) tidak bersih, tidak akan mencapai tujuannya dan akan kembali kepada kehidupan duniawi.
  • saýsàram. kehidupan duniawi, dunia perwujudan yang disifatkan oleh hidup dan kematian, janma-maraóa-lakûaóam. Ú. 


yStu ivDanvaN.vit smnSkSsda xuic" -
s tu tTpdmap{oit ySmaT.Uyo n jayte --8--

8. yas tu vijñànavàn bhavati samanaskas sadà úuciá, sa tu tat padam àpnoti yasmàt bhùyo na jàyate. 
8. Karena itu dia yang mengerti, yang mengendalikan pikiran (yang selalu) bersih akan mencapai tujuan itu dari mana dia tidak akan dilahirkan kembali.


ivDansariqyRStu mn" p[g[hvan{r" -
so_?vn" prmap{oit tiÜZ,o" prm' pdm( --9--

9. vijñànasàrathir yastu manaá pragrahavàn naraá, so’dhvanaá param àpnoti tad viûóoá paramam padam. 
9. Dia yang mengerti seperti juga kusir atas keretanya dan menguasai kendali atas pikirannya, dia akan mencapai akhir dari perjalanan, tempat bersemayam Yang Maha Tinggi yang ada di mana-mana.
  • viûóu: yang ada di mana-mana. tad viûóoá vyàpana-úìlasya brahmaóaá paramàtmano vàsudevàkhyasya. Ú. Nama ini dipergunakan untuk Àtman yang Maha Tinggi. Perkembangan dari gagasan ini sudah ada dalam B. G. dan dalam agama Bhagavata.
  • Lihat R. V. I. 154,1. 22. 20. di sana Viûóu sebagai dewa matahari, dianggap sebagai pemberi sinar dan kehidupan. 



TAHAP-TAHAPAN KEMAJUAN KEPADA YANG MAHA TINGGI

—iNd–ye>y" pra öqaR - AqeR>yé pr' mn" -
mnsé pra bui×buR×eraTma mhaNpr" --10--

10. indriyebhyaá parà hy arthà, arthebhyaú ca param manaá, manasaú ca parà buddhir buddher àtmà mahàn paraá. 
10. Di luar indria-indria adalah obyek-obyek (dari indria) dan di luar obyek-obyek adalah pikiran; di luar pikiran adalah buddhi dan di luar buddhi adalah atman yang agung
  • àtmà mahàn: àtman yang agung.
  • S. mengartikan hal ini sebagai jiwa dari alam semesta yarig merupakan yang pertama terlahir dari avyakta, yang tidak terwujud. Menurut H. V. (X. 121) pada mulanya hanya ada air dan mengambang diatasnya muncullah Hiraóya-garbha, bibit emas, ciptaan pertama yang terlahir dan pencipta dari semua makhluk. Hiraóya-garbha adalah jiva alam semesta. R. V. X. 129. 2.
  • Ketika sinar emas dari puruûa mengenai semua isi yang kaya dari prakåti, kita mempunyai penjelmaan dari benda yang paling kasar sampai kepada para dewata di svarga
  • Menurut R. , mahàn àtmà adalah àtmà individu kartå, yang dimukimi oleh àtman yang Maha Tinggi. R. B. I. 4. 1.


mht" prmVyµm( - AVyµaTpuäz" pr" -
puäzan{ pr' ikiÆt( - sa kaîa - sa pra git" --11--

11. mahataá param avyaktam, avyaktàt puruûaá paraá, puruûàn na paraý kiñcit: sà kàûþhà, sà parà gatiá. 
11. Di luar mahat adalah yang tidak terwujud; di luar yang tidak terwujud adalah puruûa. Di luar puruûa tidak ada apa-apanya. Itulah akhir (dari perjalanan): itulah tujuan akhir.
  • avyakta: tidak terwujud . Ini berada di luar mahat, ini disebut prakåti, ibu alam semesta dari mana karena pengaruh dari sinar puruûa, semua bentuk dan semua isi timbul untuk perwujudan. 
  • Ú. menyebutkan avyakta, màyà, avidyà. Sedang puruûa, subyek dan prakåti, obyek adalah azas-azas yang mengkoordinasikan pada saat penciptaan kosmis, sedang interaksinya adalah inti dari semua perwujudan, puruûa dianggap lebih tinggi sebab dia adalah sumber sinar dan persatuannya kelihatan lebih dekat kepada yang tunggal dari pada kejamakan prakåti; berbicara yang sesungguhnya, àtman Yang Murni adalah di luar penggambaran tunggal, ganda maupun jamak.
  • Menurut Ràmànuja avyakta adalah raga kereta. Dia disebut avyakta karena yang dimaksud adalah badan halus dan bukan badan kasar RV. Walaupun ada kesamaan antara Ú. dan Ràmànuja pada titik ini, Ú. melanjutkan bahwa badan halus mempunyai avidyà atau ketidaktahuan sebagai penyebab dan karena itu termasuk dalam dunia màyà. “Màyà dengan tepat dikatakan sebagai belum berkembang atau tidak terwujud karena dia tidak bisa diberi batasan, baik yang ada maupun yang tidak ada”. S. B.I. 4.3. Dengan avyakta Ú. mengartikan bukan prakåti dalam pengertian Sàýkhya tetapi màyà-úakti yang bertanggung jawab untuk semua alam semesta, termasuk Kepribadian Tuhan. Untuk Ràmànuja avyakta dihubungkan dengan brahman dalam fase penyebab, ketika nama-nama dan bentuk-bentuk belum dibedakan. Dia adalah modus yang sesungguhnya, prakàra atau perkembangan, parióàma dari brahman melalui mana alam semesta ini dikembangkan R.B.I.4. 23-27.
  • Madhva mengamati bahwa, kata avyakta, yang pokoknya mengartikan yang ada hubungannya dengan Yang Maha Tinggi, juga mengartikan benda sebab hal ini semuanya tergantung kepadaNya. Sùtra Bhàûya I.4.1.
    puruûàn na paraý kiñcit: di luar puruûa tidak ada apa-apanya.
  • Arti kata puruûa bermula dari Puruûa Sùkta (R.V. X. 90) dan pentingnya adalah bersifat perbedaan pribadi. 
  • Puruûa adalah sisi subyek dari pada apa yang di dalamnya mengandung subyek dan obyek, sinar dari kemanunggalan dan kegelapan dari kejamakan. Kita tidak akan mencapai hal ini sampai kepada hari terakhir dari kosmis. Karena itulah kita katakan tidak ada apa-apa di luar puruûa.
  • Dalam dua mantra terakhir ini kita melihat azas-azas yang bertingkat yang nantinya memperoleh makna teknis yang tinggi. Kita diminta untuk lewat dari alam yang di luar kepada avyakta dan dari sini kepada puruûa. Antara keduanya, puruûa dan prakåti, prioritas khusus diberikan kepada puruûa, sebab sinar kesadaran puruûa-lah yang tercermin pada semua obyek dunia yang terwujud, yang tinggi dan yang rendah, yang kasar atau yang halus.
  • Dari dunia indriya di mana indriya-indriya memperlihatkan obyek-obyek, kita menuju kepada dunia mimpi di mana manas atau pikiran bertindak bebas dari indriya. Dari hal terakhir ini kita menuju kepada dunia tidur tanpa mimpi di mana yang tidak terwujud menjadi ibu suci. Dia yang diserap ke dalam prakåti-laya memiliki sukacita dan kebebasan dari keadaan tidur tanpa mimpi tetapi ini bukanlah kebebasan yang disinari yang sedang kita cari. Untuk hal ini kita harus sampai kepada puruûa, yang merupakan sumber dari semuanya.
  • Bd. Pseudo Dyonisius: “Apakah Anda, dalam kekhusyukan perenungan gaib, meninggalkan di belakang indriya-indriya dan bekerjanya buddhi dan semua benda yang ada dan bisa dikenai oleh indriya dan pikiran dan semua benda yang ada dan bisa dikenai oleh indriya dan pikiran dan semua benda yang dan yang tidak, mencuat ke atas, pada keadaan yang tidak ketahui dan sejauh yang mungkin ke arah kemanunggalan dengan-Nya. Dia yang diatas semua makhluk dan semua pengetahuan. sebab dengan pengunduran yang terus menerus dan mutlak dari diri dan semua benda dalam kemurniannya, meninggalkan semuanya, terbebas dari semuanya, Anda akan dilahirkan pada sinar dari kegelapan yang mengatasi semua makhluk”. Mystical Theology, I.   
  • Mahat, avyakta dan puruûa adalah istilah yang dipergunakan oleh falsafah Sàýkhya. Avyakta adalah prakrti atau pradhàna. Ketika keseimbangannya terganggu karena pengaruh puruûa, perkembangan, såûþi atau dunia terwujud dimulai dan perkembangan ini mencangkup 23 azas. Mahat azas yang besar, akal buddhi, ahaýkàra atau ego prinsip individu dari mana ke luar mana, alat indriya pusat yang mengendalikan, 5-9 buddhindriyas atau alat-alat indriya, 10-14 karmendryas atau alat berbuat 15-19 lima tanmàtras atau unsur halus, 20-24, lima sthùla-bhùta atau unsur kasar. Puruûa, yang kedua puluh lima, berbeda total dengan semua yang lainnya, tidak menghasilkan dan juga tidak dihasilkan, walaupun karena pengaruhnya terhadap prakåti, dia menyebabkan adanya perkembangan pada dunia yang terwujud.   
  • Keterangan di dalam Kaþha U. berbeda dengan Sàýkhya klasik dalam berbagai hal; tidak ada disebut tentang ahaý-kàra, kecerdasan dan ego bukanlah bersifat material.
  • Sedang teori Sàýkhya menyamakan buddhi dan mahat, Upaniûad ini membedakan mereka.
  • Puruûa dari teori kegandaan Sàýkhyas tidaklah di luar avyakta atau prakåti tetapi merupakan azas untuk mengkoordinir.-
  • Adalah diragukan apakah avyakta diartikan sebagai pengertian prakåti dalam teori Sàýkhya. Lihat S.B. I.4.1. Keterangan U. ini memberikan beberapa gagasan Sàýkhya di dalam kerangka theistis. 


METODE YOGA


Ez sveRzuu .Utezu gU/o_Tma n p[kaxte -
d*Xyte TvGyRya bu×)a sUU+mya sU+mdisRi." --12--

12. eûa sarveûu bhùteûu gùdho’tmà na prakàúate, dåúyate tvargyayà buddhyà sùkûmayà sùkûma-darúibhiá. 
12. Àtman yang walaupun letaknya tersembunyi dalam semua makhluk, tidak bersinar ke mana-mana tetapi bisa dilihat oleh para penglihat yang halus, melalui buddhi: mereka yang tajam dan halus.
  • Kita harus mengalihkan pandangan yang tenang dan lurus kepada obyek Tuhan. Ini adalah samyag-darúana yang berbeda dengan pengelihatan okultis atau kenikmatan lahiriah. 


yC^eÜaNmns¢ p[aDStÛC^eJDan AaTmin -
DanmaTmin mhit inyC^et( tÛC^eC^aNt AaTmin --13--

13. yacched vàò manasì pràjñas tad yacchej jñàna-àtmani, jñànam àtmani mahati niyacchet, tad yacchecchànta-àtmani. 
13. Orang yang bijak harus membatasi wicara pada pikiran dan yang terakhir ini dia harus mengendalikannya dalam àtman yang mengerti. Pengertianlah yang harus dia batasi dalam àtman agung. Itu yang harus dia dibatasi dalam àtman yang tenang.
  • jñànàtman adalah buddhi dari I.3. 11. 
  • Puruûa memberi jawaban kepada Úàntàtman. Jiwa ini haruslah pergi jauh di luar bayangan-bayangan pada pikiran, semua perbuatan dari buddhi dan melalui proses abstraksi ini, jiwa terbawa di atas dirinya dan terbang ke arah Tuhan yang sesungguhnya adalah ketenangan dan sempurna Proses pengingatan dan introversi dinyatakan di sini. Dengan menutup semua hal-hal luar, dan mengosongkannya dari semua pikiran-pikiran yang mengganggu, pikiran bisa terpusatkan pada bagiannya yang tertinggal dan terdalam. Bd. Uskup Ullathorne: “Marilah kita camkan bahwa kita tidak bisa kembali kepada Tuhan kalau pertama-tama kita tidak memasuki diri kita sendiri. Tuhan ada di mana-mana tetapi tidaklah di mana-mana bagi kita. Hanya ada satu titik dijagat ini dari mana Tuhan akan berhubungan dengan kita dan itulah pusat dari jiwa kita. Di sana dia menunggu kita ; di sana Dia bertemu kita; di sana Dia berbicara kepada kita. Untuk mencarinya itu kita harus masuk ke dalam diri kita”.
  • Sisya yang arif harus bisa membedakan sinar yang tidak berubah àtman; dengan obyek-obyek berubah dari indriya dan pikiran yang disinarinya (an-àtman). Tehnik untuk mencapai kesadaran rohani memerlukan jiwa yang bersih dari angan-angan, dan masuk kepada kedalamannya. 
  

£iÑaît jag[t p[aPy vrain{bo/t -
=urSy /ara inixta durTyya - dug| pqStTkvyo vdiNt --14--

14. uttiûþhata jàgrata pràpya varàn nibodhata: kûurasya dhàrà niúità duratyayà; durgam pathas tat kavayo vadanti. 
14. Berdirilah, bangunlah, setelah memperoleh apa yang Anda minta, Anda harus mengertikannya. Setajam mata pisau dan sulit untuk diseberangi, berat untuk dituntun adalah jalan itu. Begitu ucap para åûi.
  • pràpya varàn: setelah memperoleh permintaannya. Ú. mengartikannya mendekati guru yang terbaik. “pràpya upagamya, varàn prakåûþàn àcàryàn.
  • Bd. Hitopadeúa: kemalasan adalah musuh besar manusia, àlasyaý hi manuûyàóàm úarìrastho mahà-ripuá.
    setajam mata pisau: Jalan agama tidak pernah gampang. Dia sangat curam dan berat. Tidak akan ada kemajuan dalam kehidupan agama tanpa pengendalian diri. Hanya mereka yang dengan hati murni bisa melihat Tuhan. Pengendalian diri adalah tindakan pertama dalam latihan rohani.
  • Bd. Jesus: karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan,dan sedikit orang yang mendapatinya. Matius VII.14. 


AxBdmSpxRmåpmVyy'AVyy' tqa Ars' inTymgN/v yt( -
AnaÛnNt' mht" pr' /[uv' incaYy t' m*Tyumu%aTp[muCyte --15--

15. aúabdam asparúam arùpam avyayam tathà arasaý nityam agandhavac ca yat. anàdy anantam mahataá paraý dhruvaý nicàyya tam måtyu-mukhàt pramucyate. 
15. (Àtman yang) tanpa suara, tak bisa diraba dan tanpa bentuk, tidak tua, tanpa rasa, kekal, tanpa bau, tanpa permulaan, tanpa akhir, di luar yang besar, tetap, dengan melihat hal itu seseorang akan terbebas dari kematian.
  • Àtman bukanlah satu obyek apapun tetapi satu subyek yang kekal. Kita mendengar, meraba, melihat merasa dan berpikir dengan àtman. Dengan mundur dari hal-hal yang bersifat luar, dengan mundur ke dalam daerah jiwa kita kepada bagian yang terjauh dari jiwa kita, kita akan menemukan yang Mutlak. 
  • Di sana àtman akan diangkat dari angan-angan yang empiris seperti suara, raba, bentuk dan lain-lain. 


naickwtmup:yan' m*Tyup[oµ' snatnm( -
£KTva è[uTva c me/aiv b{õlokw mh¢yte --16--

16. nàciketam upàkhyànam måtyu-proktaý sanàtanam, uktvà úrutvà ca medhàvì brahma-loke mahìyate. 
16. Ceritera kuno mengenai Naciketa ini, yang diceriterakan oleh Kematian, dengan menceriterakan dan mendengar hal ini seorang yang arif akan mencapai dunia brahman.



y —m' prm' guö' è[avyeØãõs'sid -
p[ytXè[a×kale va tdanNTyay kLpte - tdanNTyay kLpte --17--

17. ya imam paramaý guhyaý úràvayed brahma-saýsadi, prayataú úràddha-kàle và tad ànantyàya kalpate, tad ànantyàya kalpate. 
17. Siapa yang membacakan rahasia Maha Tinggi ini dihadapan sidang bràhmaóa atau pengikutnya dalam upacara kematian, ini akan mempersiapkan dia kepada hidup yang kekal.
  • Kemungkinan di sini berakhirnya Upaniûad ini dan Bab yang kedua dengan 3 bagiannya mungkin merupakan tambahan belakangan. 

Bersambung ke: Katha Upanisad (6) BAB I Bagian 1

Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar