Jumat, 11 Mei 2012

Kena Upanisad (1)

Kena Upaniûad / Kenopaniûad

“Atas kemauan dan perintah siapa, pikiran menerangi objeknya. Atas perintah siapa pertama-tama daya vital (pràóa) bergerak ? Atas kemauan siapa manusia mengucapkan kata-kata ? Kecerdasan apakah yang sesungguhnya mengarahkan mata dan telinga?”
Kenopaniûad berasal dari Sàma Weda dan cabang Thalawakaranya, sehingga ia juga dikenal sebagai Thalawakaropaniûad. Nama Kena diambil dari kata pertama dari úloka pertama Upaniûad tersebut yang berbunyi : “keneûitam patati preûitam manaá kena pràóaá prathamaá praiti yuktaá. keneûitàý vàcam imàý vadanti, cakûuá úrotraý ka u deva” - “Atas kemauan dan perintah siapa, pikiran menerangi objeknya. Atas perintah siapa pertama-tama daya vital (pràóa) bergerak ? Atas kemauan siapa manusia mengucapkan kata-kata ? Kecerdasan apakah yang sesungguhnya mengarahkan mata dan telinga?”

Telinga, kulit, mata, lidah, hidung, kelima indriya ini dapat mengenali suara, sentuhan (raba), bentuk, rasa (kecap), dan bau yang merupakan objek-objek pengetahuan dan hanya dapat diketahui oleh kelima indriya tersebut. Alam semesta dialami melalui peralatan ini yang berdiri di tengah-tengah antara yang mengetahui dan yang dapat diketahui. Kemampuan untuk memahami objek-objek tersebut, dinamakan pikiran atau manas. Manas bergerak ke luar melalui jñànendriya yang dikatakan terdahulu dan mengikatkan dirinya pada objek dan berbarengan pada saat peristiwa itu pula, manas mengambil bentuk objek tersebut dan inilah yang disebut wåtti atau fungsi. Manas adalah acetana sehingga perubahan dan pemakaian, atau wikàra juga acetana, yaitu tanpa kecerdasan dan tidak vital. Sebuah boneka kayu hanya memiliki bahan kayu, demikian pula sebuah boneka gula-gula yang hanya memiliki gula. Manas yang acetana tak dapat mencapai pengetahuan cetana atau kecerdasan tertinggi yang meresapi alam semesta.

Seperti kereta yang tanpa kecerdasan diarahkan oleh seorang kusir, seharusnya ada seorang kusir yang mengarahkan manas yang tanpa kecerdasan yang duduk di sana dan memilikinya sebagai sebuah kendaraan. Daya penggerak yang mengaktifkan peralatan dalam, indriya gerak, indriya pengetahuan, lima pràóa semuanya itu adalah Tuhan. Pertanyaan yang diajukan di atas mencantumkan bahwa daya-daya ini berbeda dengan indriya. Oleh karena itu, secara alami mestinya si penggerak keseluruhan kumpulan indriya ini berbeda dari manas, bukan? Mereka yang ingin mengetahui Yang Abadi, yakin bahwa semua kegiatan dan gerak, cepat berlalunya sehingga ia tidak khawatir tentang yang abadi.

Kesatuan yang abadi itu tanpa hasutan, sehingga ia tak bergerak oleh dorongan yang tiga jenis itu. Ia tidak memerintahkan indriya-indriya guna keperluan yang ini maupun yang itu. Lalu akan timbul pertanyaan: “Apakah manas, pràóa, wàk, mata, telinga, dan sebagainya itu masing-masing berfungsi karena dorongan dari hukum-hukum sebab dan akibat? Atau, apakah mereka berbuat demikian itu, digerakkan oleh kehendak dari daya sadar ?”

Telinga memiliki kemampuan untuk mengetahui suara, mata diberi kemampuan untuk mengetahui dan membedakan bentuk. Indriya lainnya juga diperlengkapi secara demikian. Bila manas melalui indriya pengetahuan, mengamati suatu objek, kamu memperoleh pengetahuan tentang objek tersebut. Oleh karena itu, kelima indriya dan manas, semuanya merupakan peralatan pengetahuan. Bagaimana mereka dapat mengatur pelaksanaan fungsi cerdik ini, pada hal mereka sendiri tanpa kecerdasan ? Jawabannya adalah  : Akibat adanya àtma dan akibat dari pantulan kecemerlangan àtma pada antaákaraóa. Matahari menyinari alam semesta dan mengaktifkannya dalam ribuan cara. Demikian pula àtma, dengan teja-Nya, mengaktifkan oleh àtma, seperti arus listrik yang memberi daya pada mesin-mesin dan bermacam-macam peralatan cetak dan sebagainya tetapi tak terlihat. Arus listrik adalah si penggerak dari gerakan, dan merupakan mesinnya mesin. Demikian pula àtmik teja yang merupakan telinganya telinga, matanya mata, yang merupakan arus pengaktif.

Anehnya adalah  : àtma itu tidak aktif dan tanpa kualifikasi (kemampuan). Ingatlah, bahwa ia dengan manas dan indriya tidak menyuruh apa pun untuk berbuat. Dia teraktifkan oleh kehadiran àtma saja. Sinar matahari sama sekali tidak menyadari kegiatan yang diberikannya, demikian pula àtma tidak bertanggung jawab terhadap kegiatan dari indriya-indriya. (Ajaran ini diberikan oleh Waruóa kepada putranya Bhågu.)

Mata, apabila dicerahi oleh kesemarakan àtma, mampu untuk mengamati bentuk, yang merupakan tugasnya, tetapi ia tak akan pernah dapat berharap untuk mencerahi àtma, yang bercahaya sendiri. Lampu menerangi objek, tetapi sebaliknya, objek tak dapat menerangi lampu. Wàk dapat melukiskan atau menyatakan sesuatu sesuai kemampuan yang dimilikinya, seperti nama, bentuk, guóa, kriyà dan sebagainya. Bagaimana mungkin ia dapat melukiskan atau mendefinisikan yang tidak memiliki kualifikasi, tanpa nama, tanpa bentuk, tanpa ciri-ciri, yaitu Paramàtma?  Kamu juga tak akan dapat melukiskan kemanisan atau rasa yang semacam itu dengan kata-kata. Àtma bukanlah suatu subjek untuk penggambaran. Manas yang tanpa kecerdasan tak dapat mengalami yang cerdas. Tak ada yang dapat mengetahui Tuhan yang mengetahui segalanya, karena Ia mengatasi semua hal yang dapat diketahui dan bila diketahui, Ia tidak lagi menjadi yang mengetahui ataupun pengetahuan itu sendiri.

Brahman adalah jñànam itu sendiri, sehingga tak akan pernah “diketahui” oleh seorang “yang mengetahui”. Dengan proses mengetahui, hal-hal lain dapat diketahui, tetapi bukan pengetahuan itu sendiri. Lampu tak akan menghendaki lampu lain untuk melihat dirinya, ataupun menghendaki sinarnya sendiri. Ia memiliki sinar pada objek lainnya dan ia tidak mengharapkan sinar pada sinarnya sendiri; demikian pula kamu merupakan sinar, yaitu àtma. Àtma pada dirimu memiliki sifat yang sama dengan àtma pada semua makhluk; yang satu-satunya merupakan realitas, yang tak memiliki batasan atau atribut, ataupun kualifikasi.

Àtma dapat dikenali dengan belajar Úàstra, dan dengan mengikuti pesan-pesan yang terdapat di sana. Yang tak dapat disinari dengan kata-kata atau wacana, ataupun dengan indriya-indriya; yang menyinari kata-kata dan semua indriya, itulah Brahman, atau àtma. Kanda pertama dari Upaniûad ini menjelaskan bahwa Brahman tak mampu dibatasi, dikesampingkan ataupun dilalaikan.

Karena itu, bagi mereka yang menyatakan bahwa mereka telah melihat Brahman, “Ia” belum merupakan suatu subjek penyelidikan dan pencarian selanjutnya. Mereka belum mencapai tahap akhir, karena hal itu bukan jñàna murni, tetapi merupakan suatu tipuan. Àtma seseorang yang mengetahui, sesungguhnya adalah Brahman itu sendiri, yang merupakan ketentuan dari Wedànta tanpa keragu-raguan, bukan ? Api tak dapat membakar dirinya sendiri, lalu bagaimana dapat àtma mengetahui àtma; bagaimana yang mengetahui dapat mengetahui dirinya sendiri ? Oleh karena itu, pertanyaan : Aku telah mengetahui Brahman, menandakan bahwa itu merupakan tipuan dan bukan pengetahuan yang sesungguhnya.

Dikatakan bahwa Brahman memiliki berbagai bentuk yang dapat dikenali dan dapat dihitung; namun hal itu hanya dalam batasan indriya yang dikualifikasikan dengan nama dan rùpa. Dengan sendirinya yang Mutlak tak memiliki suara, bau, rasa, raba ataupun wujud tetapi ada selamanya. Dalam kegiatan apa pun kamu menyadari keberadaan-Nya, kegiatan itu memberi ciri-ciri yang layak, dan dalam keadaan bagaimanapun úàstra - úàstra didiskusikan dan ditentukan, keadaan itu menjadi úàstra khusus pencirian tentang Brahman. Kesadaran (Caitanya) yang menjadi jelas apabila dibatasi dengan ikatan atau wadah tertentu, maka Caitanya adalah Brahman. Caitanya itu tanpa keterikatan, namun apabila dibayangkan dengan objek seperti badan fisik, maka Ia memberikan kesan bahwa Ia terikat. Dari kenyataan bahwa apabila air disebuah danau dikacaukan, gambaran (bayangan) matahari dipermukaan air bergoyang, kamu tidak dapat menyimpulkan bahwa matahari di langit, yang jauh dan terpencil, juga bergoyang. Matahari dan lapisan air di danau tak berhubungan, dan tak ada hubungan yang dapat dikenakan antara keduanya. Demikian juga badan apabila mengalami pertumbuhan, merosot, hancur, dan sebagainya yang memberikan kesan bahwa àtma juga berakibat demikian; tetapi àtma tak terpengaruh sama sekali. Brahman melampaui pencapaian dari kecerdasan si pengamat, dan hanya dapat dicapai oleh mereka yang membuang kecerdasannya sebagai suatu alat yang tak berguna. Hanya pengalaman saja yang merupakan cara pendekatan pembuktian dan hasil. Keadaan terakhir dari Brahma-Jñàna merupakan akhir dari semua pencarian dan semua penyelidikan. Realisasi aktual atau Sàkûàtkàra merupakan hasilnya. Tahapan tertinggi ini dicapai dalam samàdhi, penenangan dari segala hasutan dalam segala tingkatan kesadaran, yang tentu saja sebelumnya didahului dengan úrawaóa. Manana dan nididhyàsana yang dibantu buddhi atau kecerdasan. Seseorang akan mendapat Satyaswarùpa, apabila ia memahami sifat dari àtma; dan bila tidak, hal itu merupakan kehilangan yang besar. Seorang jñànì mengenalinya pada setiap makhluk hidup dan pada setiap objek, prinsip dari àtma yang meresapi segalanya, dan bila ia meninggalkan dunia ini, ia menjadi terbebas dari kelahiran dan kematian.

Brahma-Jñàna merupakan warisan manusia, dan diberi hak padanya. Apabila ia sadar akan hal ini dan berusaha, ia mencapai Jñàna dari Brahman, dengan mengambil cara di atas, lalu kedudukannya di alam dunia ini sesungguhnya perlu diperhatikan, tetapi bila sebaliknya, semuanya merupakan pemborosan. Àtma, bila dikenali dalam kesadaran, gemerlap laksana cahaya kilat, dan pada tahap kedua ia akan memperlihatkan kecemerlangan dan kesemarakannya; dan tak mungkin untuk meraih keagungan sepenuhnya. Manas merupakan selubung dari àtma, yang menentukan àtma atau menampakkannya. Sehingga, tampaknya menjadi sangat dekat dengan àtma, dan membuatmu percaya bahwa ia mencapai-Nya; hal yang tak mampu untuk dilakukan karena ia sangat dekat, seorang Sàdhaka membayangkan bahwa pikirannya telah mewujudkan àtma dan ingin mengalaminya berulang-ulang. Hal ini yang demikian itu tentu saja baik, karena memelihara pencarian untuk bergabung dengan Brahman.

Seorang Brahmajñàni, pertentangan antara dharma dan adharma, jasa dan ganjaran, tidak ada. Kehidupan dharma memberikan loka atas setelah mati dan kehidupan a-dharma membawa pada loka yang lebih rendah, tetapi keduanya membelenggu sàdhaka yang patuh, yang matanya terlepas dari ketidaktahuan dan realisasi kebenaran. Ia harus mencari untuk memetik tali yang membelenggu hati kepada dunia objektif ini. Dengan demikian, ia menginginkan suatu jawaban terhadap pertanyaan, yang menjadi awal dari Upaniûad ini : Dengan apa pikiran mencapai benda-benda, dan sebagainya ? Untuk mencapai Brahma-Jñàna, tapas, pengendalian diri, upacara Weda, pemujaan gambaran Tuhan, semuanya merupakan bantuan yang baik. Jñàna memiliki lokasi pada satya.

Upaniûad ini memberikan semua pencari Tuhan, ajaran (Upadeúa) tentang Brahmajñàna; mengenai Brahman, yang merupakan satyam, jñànam dan ànandam. Upaniûad ini mengambil nama dari kata pertamanya Kena, artinya oleh siapa dan merupakan bagian dari Sàma veda. Upaniûad ini juga dikenal dengan nama Talavakàra yaitu nama dari Bràhmaóa dalam Sàma Veda. Terdiri dari 4 bagian dua bagian pertama merupakan puisi dan sisanya prosa. Bagian puisi membahas brahman. Yang Maha Tinggi, azas mutlak yang mendasari fenomena dunia dan bagian prosanya membahas tentang Yang Maha Tinggi sebagai Tuhan Ìúvara. Pengetahuan tentang yang mutlak parà-vidyà yang menjamin pembebasan (sadyamukti) hanyalah mungkin bagi mereka yang sanggup menarik pikiran mereka dari obyek-obyek duniawi dan memusatkannya kepada kenyataan terakhir daripada alam semesta. Pengetahuan tentang Ìúvara, aparà vidyà, menempatkan seseorang kepada jalan pembebasan pada akhirnya (krama-mukti-pembebasan bertahap). Jìva yang berbakti secara bertahap akan memperoleh kearifan yang lebih tinggi yang menyebabkan adanya kesadaran kemanunggalan dengan Yang Maha Tinggi.

Bersambung.. :)

Bersambung ke:   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar